Di Indonesia minat untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum
(UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah
globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi
pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain
karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win
solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan
kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat.
Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan
mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential)
di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan.
Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan
perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan
arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di
luar negeri.
- Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
- Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
- Bertindak secara
otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
- Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Adapun
mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan–ketentuan tentang
pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia
terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan
pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional)
seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
Pasal
65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah
pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya
pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia,
apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Selanjutnya
pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Walaupun
telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan
putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999,
dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal
tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering
menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase
internasional.
Kesan
umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an
arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan
putusan arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka
tidaklah heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase
internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional
di negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.
Masalah
utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa pengadilan
Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan
putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan yang
bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti
diketahui, walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan
sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini
Indonesia, namun penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas,
sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu
ketidakpastian hukum.
Adalah
menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan public
policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing
(internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan pula
sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi penolakan
putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang
menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun
ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan
Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia
adalah anggota Konvensi New York.
Pelaksanaan
eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai
permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan
eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur
pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan
proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat berlangsung
dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan
ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Masalah
lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di Indonesia
adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti
diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase
internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.
Dengan
adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang
dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase
asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).
Hal
ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan
masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan
arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana
dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau
hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Ditegaskan
pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh Negara dimana
putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap sebagai putusan
arbitrase domestik.
Seperti
diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali
tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah
orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di
dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam
prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.
Sedangkan
UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase
adalah internasional apabila :
a. para pihak dalam perjanjian arbitrase
pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di
negara yang berbeda;
b. tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan
kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda
dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para
pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian
arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.
Dengan
kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut
unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana
persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal
59 dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat
dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai
putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di
negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan
lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu
lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang
juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul
apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang
menyangkut prosedur pelaksanaan.
Kasus
seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang
menimbulkan masalah yang berlarut-larut.
Masalah
seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain
pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia
yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan
UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian
dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam
ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan
putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang
Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.
Untuk
menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai
suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan
perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki
kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional,
seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU
No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law
Disamping
itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua
pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat
arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar