Semenjak lahirnya negara-megara di
dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip hubungan internasional,
hukum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya satu sama lain
negara-negara mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan negara-negara
lain dalam rangka memeperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing
disamping mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara yang
dilakukan dalam bentuk pendekatan dan berunding dengan negara lain
untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi[1]
yang dilaksanakan oleh para diplomat. Selanjutnya pembukaan dan pemeliharaan
dilakukan untuk menjaga hubungan diplomatik ini. Diplomatik adalah segala
sesuatu yang berkenaan dengan hubungan resmi antar negara dan negara[2].
Sedangkan hukum diplomatik adalah hukum/ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
yang mengatur hubungan luar negeri antar negara.
Pesatnya perkembangan teknologi KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi) dewasa ini, telah memacu semakin
intensifnya interaksi antar Negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya
intensitas interaksi tersebut telah memengaruhi potensi kegiatan ekonomi,
politik, sosial dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh
pemerintah (pusat dan daerah), organisasi nonpemerintah (ornop dalam negeri dan
NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan
perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri.
Kenyataan ini menuntut tersedianya
suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan
untuk melindungi kepentingan negara dan warga negaranya, serta pada gilirannya memperkokokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah telah mencatat dan
membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan
praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada
dewasa in, di zaman india kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antarraja maupun kerajaan, dimana hukum
bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal pula apa yang dinamakan duta.
Pengiriman duta-duta ke luar negeri
sudah dikenal dan dipraktikkan oleh indonesia, dan negara-negara asia serta
arab sebelum negara-negara barat mengenalnya. Di benua eropa, baru pada abad
ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi
hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad
ke-19, dimana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai
dibicarakan pada Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh protocol
aix-la-chapelle 1818.
Kongres Wina tersebut pada
hakikatnya merupakan tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil
mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi
jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme
hubungan diplomatik. Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum
kebiasaan.
Pada Kongres Wina 1815, raja-raja
yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan
tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan
mereka hanya meninggalkan satu naskah, yaitu hirearki diplomat (klasifikasi
jabatan kepala perwakilan diplomatik) yang kemudian dilengkapi pula dengan Protocol
Aix-La-Chapelle tanggal 21 november 1818.
Sebenarnya Kongres Wina ini dilihat
dari segi substansi, praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah
ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai upaya positif mengodifikasikan
praktik-praktik negara-negara dalam bidang hubungan diplomatik itu menjadi
hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.
Pada tahun 1927, dalam kerangka Liga
Bangsa-Bangsa, diupayakan kembali kodifikasi yang sesungguhnya. Namun,
hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB. Alasannya yaitu,
belum waktunya untuk memutuskan tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda
Konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum
internasional.
Disamping itu, di Havana pada 1928
Konferensi ke-6 Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) menerima konvensi dengan
nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh dua
belas negara amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani, tidak
meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka
politik. Mengingat sifatnya yang regional, implementasi Konvensi ini tidak
menyeluruh.
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional
yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi
sebagai berikut.
“1. majelis umum akan mengadakan
penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan:
Memajukan kerjasama internasional di
bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional
secara progresif dan pengodifikasiannya;
Memajukan kerjasama internasional di
bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan,
dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin,
bahasa, ataupun agama.”
Komisi Hukum Internasional tersebut
menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya jua termasuk topik
hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.
Selanjutnya, karena seringnya
terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya
ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi
Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi
Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai
hubungan dan kekebalan diplomatik.
Pada tahun 1954, Komisi mulai
membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum
berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk
menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah
seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Konferensi tersebut dinamakan “The
United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”,
mengadakan sidangnya di Wina pada 2 maret – 14 april 1961. kota Wina dipilih
dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik
diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi menghasilkan
instrumen-instrumen, yaitu: Vienna Convention on Diplomatic Relations,
Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality, dan Optional Protocol
Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Di antara ketiga
instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik (Convention on
Diplomatic Relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting.
Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72
negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april
1961, wakil dari 75 negara menandatangani Konvensi tersebut, yang terdiri dari
mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tga tahun kemudian, pada 24 april 1964,
Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku.
Kini, hampir seluruh negara di dunia
telah meratifikasi Konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya
dengan UU no. 1 tahun 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam
Konvensi Wina tersebut digaris bawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus United
States Diplomatic and Consullar Staff in Teheran melalui ordinasinya
tertanggal 15 mei 1979, dan pendapat hukumnya (advisory opinion)
tertanggal 24 mei 1980.
Konvensi Wina ini sungguh merupakan
kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam Konvensi Wina
ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi
peranannya hanya sebagai tambahan:
“…that the rules of costumary international law
should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of
the present convention.”
Sehubunagan dengan itu perlu diingat
bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadaka kodifikasi
peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telah dilakukan dalam Konferensi
Negara-Negara Amerika tahun 1928 di Havana-Cuba, dimana dalam tahun itu juga
telah disetujui Convention of Consular Agents (Konvensi Mengenai Pejabat Konsuler).
Sesudah itu dirasakan belum ada
usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang
peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler, kecuali setelah Majelis Umum PBB
meminta kepada komisi Hukum International untuk melakukan kodifikasi mengenai
hubungan konsuler.
Pembahasan mengenai hubungan
konsuler itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu
dengan menunjuk Mr. Zoureck sebagai repporter khusus. Rencana terakhir
konvensi mengenai hubungan kekonsuleran telah diajukan kepada Majelis Umum PBB
pada 1961. Dengan Resolusi 1685 (XVI), Majelis Umum PBB telah menyetujui
rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi
diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963.
Wakil dari 95 negara telah berkumpul
di ibukota Austria (kota Wina) sejak tanggal 4 maret s/d 22 april 1963, Konferensi
telah menyetujui draft articles final knvensi mengenai hubungan konsuler,
termasuk kedua protokol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada Konvensi Wina
mengenai hubungan diplomatik. Berbagai persoalan yang menyangkut konsul
termasuk peranannya telah dirumuskan dalam Konvensi secara teliti dan rinci,
bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan Konvensi Wina 1961. Akta
finalnya telah ditandatangani pada 24 April 1963, dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 19 Maret 1967.
Ada 117 Negara yang sudah
meratifikasi dan aksesi. Empat puluh diantaranya telah menjadi protokol pilihan
tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa.
Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan
konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab yaitu:
- Bab pertama (pasal 2-pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul;
- Bab kedua (pasal 28-pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya;
- Bab ketiga (pasal 58-pasal 67) khusus menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga konsul kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada konsul kehormatan dan kantornya;
- Bab keempat (pasal 68-73) berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler olah perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya, dan lain sebagainya;
- Bab kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, mulai berlakunya, dan sebagainya.
Konvensi Wina tersebut dilengkapi
dengan konvensi mengenai misi-misi khusus (convention on special missions)
yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969. konvensi mengenai
misi-misi khusus yang juga disebut konvensi new york 1969 ini, telah pula
diratifikasi indonesia dengan UU no. 2 tahun 1982 pada 25 januari 1982.
Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya,
bahwa Konvensi New York 1969 mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap
Konvensi Wina 1961 dan 1963, dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi
pengembangan hubungan baik semua negara, baik sistem perundang-undangannya
maupun sistem sosialnya.
Konvensi New York 1969 beserta
protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang
sudah berlaku sejak 21 Juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh
negara sampai dengan 31 Desember 2004, 23 diantaranya telah menjadi pihak
Optional Protocol.
Hukum diplomatik telah mencatat
kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus melalui sebuah Konvensi, suatu
kewajiban yang penting bagi Negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang
ditujukan kepada seseorang, kebebasan, dan kehormatan para diplomat, serta
untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik.
Dalam sidangnya yang ke-24 pada
1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi
diplomatik, termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para
pelanggar, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional
mempersiapkan draft artikel mengenai pencegahan dan penghukuman
kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi oleh hukum
internasional.
Konvensi New York mengenai
pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum
internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini akhirnya telah
disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 Desember 1973, dengan Resolusi
3166 (XXVII). Konvensi ini kemudian diberlaukan pada 2 Febuari 1977, dan
sekarang telah tecatat sekitar 79 negara yang sudah menjadi anggotanya.
Konvensi mengenai keterwakilan negara dalan
hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal.
Konvensi ini dikenal sebagai
Konvensi Wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang penting bagi pengembangan
kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya disorong
oleh adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional begitu cepat, baik
jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara
dengan organisasi internasional.
Perumusan Konvensi tersebut tidak
seperti dalam Konvensi Wina 1961 karena melibatkan tiga aspek subjek hukum,
yaitu bukan hanya organisasi internasional dan negara-negara anggotanya,
melainkan juga negara tuan rumah tempat markas besar organisasi itu berada.
Situasi yang sangat komplek seperti ini benar-benar memerlukan hak dan
kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan memadai.
Sejak dimajukannya masalah ini
kepada Komisi Hukum Internasional untuk pertama kalinya pada 1958, barulah
pembahasan secara substantif dapat dilakukan pada 1968, di mana reporter khusus
yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang draft articles
yang lengkap dengan komentar mengenai status hukum bagi wakil-wakil Negara
dalam organisasi internasional.
Komisi Hukum Internasional kemudian
menyetujui draft articles sebanyak 21 pasal dengan komentar mengenai ruang
lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan,
termasuk perwakilan tetap pada organisasi internasional secara umum.
Selama 1969 dan 1970, setelah
melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, Komisi Hukum Internasional
telah menyetujui draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan
fasilitas diplomatik bagi perwakilan diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk
kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan kemudahan bagi perwakilan peninjau
tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi. Dala perkembangannya
terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 di mana telah dimajukan tiga
masalah, yaitu:
- Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik, dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri;
- Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa; dan
- Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
Akhirnya pada 1972 Majelis Umum PBB memutuskan untuk
menyelenggarakan Konferensi Internasional sesegera mungkin. Kemudian pada 1973,
Majelis Umum memberikan waktu agar Konferensi semacam itu diberlakukan pada
permulaan tahun 1975 di Wina.
Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara
dalam hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal telah
diselenggarakan di Wina, Austria sejak 4 Febuari-14 Maret 1975 yang dihadiri
oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi
antarpemerintah, dan 7 wakil dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan
oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab. Konferensi kemudian menyetujui
Konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan
sejak 14 Maret 1975 s.d. 30 April 1975 di kementrian luar negeri Austria,
kemudian diperpanjang s.d. 30 Maret 1976 di PBB New York
terimakasih, ini sangat membantu
BalasHapusdi tunggu untuk pelajaran selanjutnya :)
terimakasih, ini sangat membantu
BalasHapusdi tunggu untuk pelajaran selanjutnya :)